MAFIA BIKIN KAYA kadang BIKIN SENGSARA

Minggu, 04 Maret 2012

gsbi

Korupsi yang telah merugikan trilliunan uang rakyat harus segera dihentikan. Korupsi telah merampas hak seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan kesejahteraan. Ratusan trlliun uang yang telah dikorupsi selama SBY berkuasa akan sangat bermanfaat jika digunakan untuk memberikan subsidi kepada kaum buruh, membuka lapangan pekerjaan, subsidi pendidikan dan kesehatan yang riil hingga saat ini masih sangat sulit didapatkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) berpandangan bahwa selain tidak mampu menangani krisis serta menghentikan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pemerintah SBY-Budiono juga terbukti gagal dalam memberantas korupsi di Indonesia, hampir seluruh janji-janji manis ketika berkampaya tidak terbukti sama sekali, orang-orang yang pernah bersuara lantang KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI saat ini justru menjadi aktor dan para pelaku tindak pidana korupsi, pandangan GSBI soal kegagalan SBY dalam memberantas Korupsi ini berdasarkan pada penilaian dan study yang di lakukan oleh GSBI serta fakta-fakta yang ada selama 7 tahun SBY menjabat sebagai presiden RI.

Segala macam janji dan komitmen SBY untuk memerangi korupsi dalam setiap pidatonya hanya merupakan kebohongan semata. Janji SBY berdiri paling depan dalam usaha pemberantasan korupsi telah bergeser menjadi yang terdepan dalam memimpin korupsi dan melindungi para koruptor. Faktanya, banyak kader partai Demokrat yang saat ini sedang diproses atas tuduhan korupsi dan melalui anggota mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mereka ramai-ramai berteriak untuk membubarkan KPK dan mengajukan remisi bagi para terpidana kasus korupsi. Hal ini telah cukup membuktikan bahwa pemerintahan dibawah rejim SBY-Boediono adalah pemerintahan yang korup.

Berdasarkan temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), selama tujuh tahun kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak kurang dari Rp. 103 trilliun uang negara yang telah disalahgunakan atau dikorupsi. Dari jumlah angka ini, 305 kasus korupsi senilai Rp. 33,6 trilliun oleh BPK diserahkan kepada aparat penegak hukum dan baru 139 kasus ditindaklanjuti. Artinya, masih terlalu banyak kasus-kasus korupsi yang belum sama sekali tersentuh dan memberikan kerugian kepada negara dan tentunya kerugian bagi rakyat Indonesia.

Dari laporan tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada peningkatan jumlah perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2009 ke 2010. Kementerian/lembaga adalah penyumbang paling tinggi dalam kasus ini, termasuk perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). 

Hasil Survei Integritas Sektor Publik Indonesia 2011 yang dilakukan oleh KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) di temukan bahwa ada tiga kementerian, yaitu Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), serta Kementerian Koperasi dan UKM, menjadi lembaga dengan tingkat kerawanan korupsi tertinggi. Secara berturut-turut ketiga kementerian tersebut meraih nilai indeks integritas 5,37; 5,44; dan 5,52. Ironisnya ketiga kementerian tersebut dipimpin langsung oleh elit politik partai kualisi SBY. 

Kasus korupsi yang terjadi di Kemenakertrans semakin membuktikan bahwa korupsi dan proses suap-menyuap telah menjadi bagian yang melekat dalam jajaran birokrasi di tanah air. Kemenakertrans adalah lembaga yang mengurusi hajat hidup dan kepentingan kaum buruh di seluruh Indonesia, ketika lembaga ini telah terhinggap korupsi maka rakyat Indonesia tentu bisa menyimpulkan keberpihakan lembaga ini. Lembaga ini tidak akan pernah membela kepentingan kaum buruh, karena dengan upah yang rendah, buruh tidak akan sanggup memberikan suap kepada birokrat dikantor Kemenakertrans. Sebaliknya, pengusaha-pengusaha komprador yang memiliki modal besar akan dengan mudah memesan kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan usaha mereka melalui jalur suap ataupun gratifikasi 

Rudi HB Daman (Ketua Umum DPP GSBI) menyatakan bahwa meningkatnya kasus-kasus korupsi di Indonesia menandakan bahwa pemerintah SBY sejatinya tidak memiliki integritas dan keseriusan dalam memberantas korupsi, hampir semua kasus-kasus krupsi yang sempat mencuat dan terpampang di public tidak mampu di bongkar sampai ke akar-akarnya, kalaupun ada yang sampai di vonis penjara (kurungan) ataupun denda itu hanya orang-orang yang posisinya sebagai korban, bukan sebagai aktor utamanya, itupun hukumannya juga tidak setimpal dengan kerugian negara.

Rudi juga menegaskan bahwa korupsi adalah  merupakan salah satu bentuk perampasan uang rakyat, karena uang yang di korupsi itu adalah merupakan uang rakyat dan sumbernya dari raykat. Oleh sebab itu maka siapapun pejabat birokrasi yang terbukti korup harus di berikan hukuman yang seberat-beratnya agar dapat menjadi peringatan bagi siapapun yang akan melakukan korupsi. Jika tidak maka korupsi tidak akan dapat di hentikan bahkan berpotensi akan semakin besar. 

Menurut Rudi kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini telah menjadi satu masalah akut yang tumbuh subur diseluruh jajaran birokrasi mulai dari level yang paling rendah hingga level tertinggi. Korupsi telah terjadi mulai dari pejabat di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan tingkat nasional tentunya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa ketika masyarakat harus berurusan dengan birokrasi dilevel apapun, kelancaran dan kemudahan urusan tersebut hanya akan didapatkan setelah melakukan suap kepada pejabat yang terkait. Jadi Birokrasi Yang Korup adalah Musuh Rakyat Indonesia.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta mengeluarkan Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan tetapi pada kenyataannya sama sekali tidak dapat mengurangi apalagi menghentikan korupsi di seluruh jajaran birokrasi pemerintahan, hal ini di sebabkan karena pemerintah SBY tidak menjalankan undang-undang tersebut dengan konsekwen, seperti halnya dengan nasib Undang-undang yang lain. Intinya pemerintah SBY hanya bisa mengeluarkan peraturan dan perundang-undangan,  tetapi tidak pernah serius dalam menjalankannya. Tegas Rudi HB Daman. (Marchell/Imam)##

berita ini dimuat di: http://indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=13984:gsbi-menuntut-sby-segera-hentikan-perampokan-uang-rakyat&catid=123:nasional&Itemid=197

isra' mi'raj

" Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi."

Bila kita membaca sejarah Islam, setidaknya ada tiga peristiwa penting yang melatarbelakangi peristiwa Isra dan Mi'raj Nabi Saw..

Pertama, peristiwa boikot yang dilakukan orang kaum Quraisy kepada seluruh keluarga Bani Hasyim. Kaum Quraisy tahu bahwa sumber kekuatan Nabi Saw adalah keluarganya. Oleh karena itu untuk menghentikan dakwah Nabi Saw. sekaligus menyakitinya, mereka sepakat untuk tidak mengadakan perkawinan, transaksi jual beli dan berbicara dengan keluarga bani Hasyim. Mereka juga bersepakat untuk tidak menjenguk yang sakit dan mengantar yang meninggal dunia dari keluarga Bani Hasyim. Boikot ini berlangsung kurang lebih selama tiga tahun. Tentunya boikot selama itu telah mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan khususnya kepada Nabi Saw. dan umumnya kepada keluarga Bani Hasyim.

Kedua, peristiwa wafatnya paman beliau, Abu Thalib. Peristiwa ini menjadi sangat penting dalam perjalanan dakwah N! abi Saw. sebab Abu Thalib adalah salah satu paman beliau yang senantiasa mendukung dakwahnya dan melindungi dirinya dari kejahilan kaum Quraisy. Dukungan dan perlindungan Abu Thalib itu tergambar dari janjinya," Demi Allah mereka tidak akan bisa mengusikmu, kecuali kalau aku telah dikuburkan ke dalam tanah." Janji Abu Thalib ini benar. Ketika ia masih hidup tidak banyak orang yang berani mengusik Nabi Muhammad Saw, namun setelah ia wafat kaum Quraisy menjadi leluasa untuk menyakitinya sebagaimana digambarkan dalam awal tulisan ini.

Ketiga, peristiwa wafatnya istri beliau, Siti Khadijah r.a. Peristiwa ini terjadi tiga hari setelah pamannya wafat. Siti Khadijah bagi Nabi Saw. bukan hanya seorang istri yang paling dicintai dan mencintai, tapi juga sebagai sahabat yang senantiasa mendukung perjuangannya baik material maupun spiritual, yang senantiasa bersama baik dalam keadaan suka maupun duka. Oleh karena itu, wafatnya Siti Khadijah menjadi pukulan besar bagi perjuangan N! abi Saw..

Tiga peristiwa yang terjadi secara berurutan itu sangat berpengaruh pada perasaan Rasulullah Saw. ia sedikit sedih dan gundah gulana. Ia merasakan beban dakwah yang ditanggungnya semakin berat. Oleh karena itu para sejarawan menamai tahun ini dengan ámul hujn (tahun kesedihan).

Dalam kondisi seperti itulah kemudian Allah Swt. mengundang Nabi Saw. melalui peristiwa isra dan mi'raj. Isra' adalah peristiwa diperjalankannya Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa sedangkan mi'raj merupakan peristiwa dinaikannya Nabi Saw. dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Peristiwa Isra Miraj ini mengajarkan banyak hal kepada Nabi Saw. Dalam perjalanan isra' ia melihat negeri yang diberkahi Allah Swt. dikarenakan di dalamnya pernah diutus para Rasul. Sedangkan dalam perjalanan mi'raj ia melihat tanda-tanda kebesaran Allah Swt. "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari, dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkati sekelilingnya, ! supaya kami perlihatkan ayat-ayat Kami kepadanya. Sesungguhnya Ia Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S Al Isra :1). "Sesungguhnya ia (Muhammad) melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) di waktu yang lain. Yaitu di Sidratul Muntaha. Didekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha itu diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya ia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (Q.S An-Najm : 13-18).

Isra' dan mi'raj merupakan pengalaman keagamaan yang paling istimewa bagi Nabi Muhammad Saw.. Puncaknya terjadi di Sidratul Muntaha. Muhammad Asad menafsirkan Sidratul Muntaha dengan lote-tree farthest limit (pohon lotus yang batasnya paling jauh). Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagiaan. Dengan demikian secara simbolik Sidratul Muntaha dapat diartikan se! bagai puncak kebahagiaan dan kebijaksanaan.

Kebahagiaan yang dibarengi dengan kebijaksanaan inilah yang kemudian membedakan pengalaman keagamaan Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul dengan kaum sufi sebagai manusia biasa. Dengan bahasa yang sederhana tetapi penuh makna Abdul Quddus, seorang sufi Islam besar dari Ganggah, menyatakan,"Muhammad telah naik ke langit yang tinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi."

Ketika Nabi Saw. sampai di Sidratul Muntaha, Allah Swt memperlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya berupa bukti-bukti wujud, keesaan, dan kekuasaan-Nya. Disamping itu diperlihatkan juga surga, neraka, perihal langit, kursi dan 'arasy. Setelah melihat semua itu keyakinan Nabi Saw. terhadap keagungan Allah Swt dan kelemahan alam dihadapan keagungan-Nya semakin kuat. Pada gilirannya keyakinan seperti ini telah melahirkan kesadaran ruhani baru pada dirinya berupa kebijaks! anaan (wisdom), ketentraman dan kebahagiaan.

Pada saat itu Nabi Saw. sudah mampu membedakan posisi Tuhan dan alam (manusia). Tuhan adalah sumber kebahagiaan, sementara alam sumber kesusahan dan kesengsaraan. Oleh karena itu menggantungkan semua harapan dan keinginan kepada-Nya akan mendatangkan kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya menggangtungkan semua harapan dan keinginan kepada alam akan mendatangkan kesengsaraan.

Kebahagian bertemu dan berdialog dengan Dzat yang dicintai dan mencintainya di Sidratul Muntaha tidak menyebabkan Nabi Saw. lupa akan tugas pokonya menebarkan rahmat Allah Swt. melalui dakwahnya. Hal tersebut dikarenakan, kebahagiaannya tersebut telah dibarengi dengan kebijaksanaan sehingga ia mampu membedakan persoalan pokok dengan cabang, prinsip dengan taktik, esensi dengan aksidensi serta alat dengan tujuan. Nabi Saw. sangat sadar bahwa kebahagian yang diperolehnya dalam Isra' dan Mi'raj bukan esensi dan tujuan utama Allah Swt. tetapi itu semua han! ya alat untuk mempersiapkan kondisi jiwanya supaya bisa melaksanakan tugas yang lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu, ia meninggalkan kebahagiaan langit yang sedang dinikmatinya itu, kemudian turun ke bumi untuk berjibaku dengan realitas sosial yang penuh dengan tantangan dan penderitaan. Dengan demikian peristiwa isra' mi'raj Nabi Saw. tidak hanya memiliki makna individual tetapi juga memiliki makna sosial.

Disinilah letak perbedaan pengalaman keagamaan rasul dengan seorang sufi, terutama sufi falsafi. Pengalaman keagamaan rasul berdimensi individual dan sosial sedangkan pengalaman keagamaan sufi (mistik) lebih banyak berdimensi individual. Ketika seorang sufi mengalami fana, kondisi kejiwaannya hampir sama dengan kondisi kejiwaan Nabi Saw. ketika diisra' dan dimi'rajkan. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dirinya merasa menyatu dengan Allah Swt.. Ia hanyut dan mabuk dalam pelukan keindahan-Nya.

Pengalaman keagamaan seperti itu telah menyebab! kan seorang sufi lupa akan diri dan lingkungannya. Kesadarannya bahwa ia bagian dari alam menjadi hilang. Ia menjadi tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Ia hanya asyik ma'syuk dengan perasaannya sendiri dan terus menyendiri dengan dzikir-dzikirnya. Akibatnya, walaupun ia berdzikir ribuan kali dan mendatangkan ketenangan jiwa, namun semua itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Semakin lama ia berdzikir semakin dalam masuk pada kesadaran dunia mistik. Semakin masuk ke dalam kesadaran dunia mistik, semakin jauh dari realitas kehidupan. Penomena seperti ini dapat menjelaskan perilaku sebagian sufi yang senang mengasingkan diri dari dunia nyata.

Bagaimana dengan Kita ?
Ketika Muhammad Saw. mendapat tantangan berat dalam dakwahnya, ia diundang Allah Swt. melalui peristiwa Isra' dan Mi'raj. Melalui peristiwa ini Allah Swt. mengobati luka hatinya, menghilangkan kesedihannya dan menghibur duka laranya. Akibatnya jiwanya menjadi fresh (segar) dan bahagia kembali. Dalam kondisi jiwa seperti ini kemudian ia kembali ke bumi malanjutkan tugas dakwahnya yaitu menebarkan rahmat Allah Swt. di muka bumi ini. Disinilah, seperti disebutkan di atas, Isra' Mi'raj tidak hanya memiliki makna individual tetapi juga memiliki makna sosial.

Ada pertanyaan, bagaimana bila yang mendapatkan hambatan dakwah itu kita? Bagaimana bila yang mendapat kesusahan dan penderitaan itu kita? Apakah bagi kita masih ada peluang diisra'kan dan dimi'rajkan seperti nabi Muhammad Saw? Jawabannya, tentu tidak mungkin. Lantas apa yang mesti dilakukan bila semua itu terjadi pada kita?
Shalat! Inila! h jawaban yang diberikan oleh Nabi Saw.

Isra dan mi'raj adalah salah satu mu'jizat Nabi Muhammad Saw.. Artinya itu hanya diberikan kepadanya tidak mungkin diberikan kepada manusia biasa. Namun demikian, berdasarkan petunjuknya ada amalan bagi orang-orang yang beriman yang memiliki fungsi sama dengan Mi'raj yaitu ibadah shalat. "Shalat itu mi'rajnya orang yang beriman (ash-shalatu mi'rajul mu'minín)" sabdanya.

Shalat secara bahasa berarti do'a. Doa pada hakikatnya merupakan bentuk dialog antara manusia dengan Allah Swt.. Ketika seseorang shalat, hakekatnya ia sedang bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.. Oleh karena itu secara hakiki fungsi shalat dan mi'raj sama yaitu bertemu dan berdialog dengan Allah Swt..

Shalat yang benar mesti menghasilkan buah yang sama dengan buah Isra' mi'raj yaitu kesadaran individual dan sosial.

Tujuan utama shalat menurut Al Quran adalah untuk berdzikir (mengingat) kepada Allah Swt (Q.S Thaha : 14). Dzikir atau shalat. bila ! dilakukan dengan khusyu' akan mendatangkan ketentraman jiwa dan kebahagiaan hidup (Q.S Ar-Ra'du :28; Al Mu'minun : 1-2). Namun demikian, keberhasilan shalat seseorang tidak hanya diukur dari ketenangan dan ketentraman jiwa saja, tetapi mesti dilihat pula pada atsar (bekas) perilaku sosialnya. Menurut Al Quran, shalat yang benar mesti dapat menumbuhkan berbagai macam kebajikan seperti tumbuhnya kesadaran berinfak dan berzakat, kemampuan menghidarkan diri dari perilaku yang sia-sia, kemampuan memelihara diri dari perbuatan zina dan kemampuan memelihara amanat baik dari Allah Swt. ataupun sesama manusia ( Al Mu'minun : 3-8).

Disamping itu, shalat yang benar mesti dapat mengobati sifat kikir dan keluh kesah serta mencegah perbuatan keji dan munkar (Q.S Al Ma'arij : 19-25 ; Al Ankabut: 45). Rasulallah Saw. menyatakan bahwa shalat yang tidak dapat mencegah perbuatan keji dan munkar tidak akan menambah apa-apa bagi mushalli (orang yang shalat) kecuali hanya semakin menjauhkan diriny! a dari Allah Swt (H.R.Ahmad).

Shalat yang memiliki dimensi individual dan sosial adalah shalat yang dilakukan dengan khusyu' dan dáim (kontinu). Menurut Imam Al Ghazali, shalat khusyu' adalah shalat yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Yaitu memahami apa yang diucapkan dalam shalat sehingga melahirkan perasaan ta'zhim (hormat), khauf (takut), harap (raja) dan haya (malu) terhadap Allah Swt.. Kesadaran ini disamping akan mendatangkan kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman jiwa, juga akan mampu memotivasi mushalli untuk merealisasikan seluruh janji yang diucapkannya di dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari. Wallah a'lam bi ash-shawwab

Kamis, 01 Maret 2012

UU.NO.1 tahun 1974.perkawinan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat :
1.       Pasal 5 ayat (1), Pasal 20  ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.   


Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

                                         MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

                                                     Pasal 2
(1).    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2).    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                                                     Pasal 3
(1).    Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2).    Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

                                                     Pasal 4
(1).    Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2).    Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
          a.       isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
          b.       isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
          c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

                                                     Pasal 5
(1).    Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
          a.       adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
          b.       adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
          c.       adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2).    Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6
(1).    Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2).    Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3).    Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4).    Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5).    Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam  ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6).    Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

                                                     Pasal 7
(1).    Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2).    Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3).    Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

                                                     Pasal 8
          Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
          a.       berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
          b.       berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
          c.       berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
          d.       berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
          e.       berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
          f.       mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
                                                     Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

                                                   Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

                                                   Pasal 11
(1).    Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2).    Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

                                                   Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan  perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

                                                   Pasal 14
(1).    Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2).    Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

                                                   Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

                                                   Pasal 16
(1).    Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2).    Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

                                                   Pasal 17
(1).    Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2).    Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

                                                   Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

                                                   Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

                                                   Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

                                                   Pasal 21
(1).    Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2).    Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3).    Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4).    Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5).    Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

                                                   Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
          a.       Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
          b.       Suami atau isteri;
          c.       Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
          d.       Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

                                                   Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

                                                   Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

                                                   Pasal 26
(1).    Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2).    Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

                                                   Pasal 27
(1).    Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2).    Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3).    Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

                                                   Pasal 28
(1).    Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2).    Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
          a.       Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
          b.       Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
          c.       Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29
(1).    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2).    Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3).    Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4).    Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

                                                   Pasal 31
(1).    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2).    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3).    Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

                                                   Pasal 32
(1).    Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2).    Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

                                                   Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

                                                   Pasal 34
(1).    Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2).    Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3).    Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35
(1).    Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2).    Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.


                                                   Pasal 36
(1).    Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2).    Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

                                                   Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38
Perkawinan  dapat putus karena :
          a. kematian,
          b. perceraian dan
          c. atas keputusan Pengadilan.

                                                   Pasal 39
(1).    Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2).    Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3).    Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

                                                   Pasal 40
(1).    Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2).    Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

                                                   Pasal 41
          Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
          a.       Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
          b.       Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
          c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

                                                   Pasal 43
(1).    Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2).    Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

                                                   Pasal 44
(1).    Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2).    Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45
(1).    Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2).    Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

                                                   Pasal 46
(1).    Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2).    Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

                                                   Pasal 47
(1).    Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2).    Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan.

                                                   Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

                                                   Pasal 49
(1).    Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
          a.       la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
          b.       la berkelakuan buruk sekali.
(2).    Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI
PERWALIAN

Pasal 50
(1).    Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
(2).    Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

                                                   Pasal 51
(1).    Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2).    Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3).    Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4).    Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5).    Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

                                                   Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

                                                   Pasal 53
(1).    Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2).    Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

                                                   Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB  XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55
(1).    Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2).    Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3).    Atas dasar ketentuan  Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56
(1).    Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2).    Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

                                                   Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

                                                   Pasal 59
(1).    Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2).    Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.

                                                   Pasal 60
(1).    Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2).    Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3).    Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4).    Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5).    Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

                                                   Pasal 61
(1).    Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2).    Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3).    Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

                                                   Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63
(1).    Yang  dimaksud dengan  Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :
          a.       Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
          b.       Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2).    Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB  XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

                                                   Pasal 65
(1).    Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang  ini maka berlakulah  ketentuan-ketentuan berikut :
          a.       Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
          b.       Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
          c.       Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2).    Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

B A B  XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

                                                   Pasal 67
(1).    Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2).    Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

          Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.        


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


SOEHARTO
JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,


SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM :

1.       Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2.       Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut :

          a.       bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir dalam Hukum Adat;
          b.       bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
          c.       bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
          d.       bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
          e.       bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
          f.       bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3.       Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

4.       Dalam Undang-undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkayanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
          Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
          a.       Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.

          b.       Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

          c.       Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

          d.       Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
                   Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur.
                   Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
                   Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita,ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi,wanita.

          e.       Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.

          f.       Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5.       Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
          Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

          Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2

          Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
          Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 3

(1).    Undang-undang ini menganut asas monogami.

(2).    Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.

Pasal 4
          Cukup jelas.

Pasal 5
          Cukup jelas.

Pasal 6

(1).    Oleh karena perkawinan mempuryai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
          Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.

(2).    Cukup jelas.

(3).    Cukup jelas.

(4).    Cukup jelas.

(5).    Cukup jelas.

(6).    Cukup jelas.

Pasal 7

(1).    Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
(2).    Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.

(3).    Cukup jelas.

Pasal 8
          Cukup jelas.

Pasal 9
          Cukup jelas.

Pasal 10.
          Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11
          Cukup jelas.

Pasal 12
          Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang  Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 13
          Cukup jelas

Pasal 14
          Cukup jelas.

Pasal 15
          Cukup jelas.

Pasal 16
          Cukup jelas.

Pasal 17
          Cukup jelas.

Pasal 18
          Cukup jelas.

Pasal 19
          Cukup jelas.

Pasal 20
          Cukup jelas.

Pasal 21
          Cukup jelas.

Pasal 22

          Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Pasal 23
          Cukup jelas.

Pasal 24
          Cukup jelas

Pasal 25
          Cukup jelas

Pasal 26
          Cukup jelas.

Pasal 27
          Cukup jelas.

Pasal 28
          Cukup jelas.

Pasal 29

          Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak  termasuk tak'lik - talak.

Pasal 30
          Cukup jelas.

Pasal 31
          Cukup jelas.

Pasal 32
          Cukup jelas.

Pasal 33
          Cukup jelas.

Pasal 34
          Cukup jelas.

Pasal 35

          Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing.

Pasal 36
          Cukup jelas.

Pasal 37

          Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Pasal 38
          Cukup jelas.

Pasal 39
(1).    Cukup jelas.

(2).    Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

          a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
          b.       Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
          c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
          d.       Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
          e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
          f.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
(3).    Cukup jelas.

Pasal 40
          Cukup jelas.

Pasal 41
          Cukup jelas.

Pasal 42
          Cukup jelas.

Pasal 43
          Cukup jelas.

Pasal 44
          Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

Pasal 45
          Cukup jelas.

Pasal 46
          Cukup jelas.

Pasal 47
          Cukup jelas.

Pasal 48
          Cukup jelas.

Pasal 49
          Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah.

Pasal 50
          Cukup jelas

Pasal 51
          Cukup jelas

Pasal 52
          Cukup jelas

Pasal 53
          Cukup jelas.

Pasal 54
          Cukup jelas

Pasal 55
          Cukup jelas.

Pasal 56
          Cukup jelas.

Pasal 57
          Cukup jelas.

Pasal 58
          Cukup jelas.

Pasal 59
          Cukup jelas.

Pasal 60
          Cukup jelas.

Pasal 61
          Cukup jelas.

Pasal 62
          Cukup jelas.

Pasal 63
          Cukup jelas.

Pasal 64
          Cukup jelas.

Pasal 65
          Cukup jelas

Pasal 66
          Cukup jelas

Pasal 67
          Cukup jelas