MAFIA BIKIN KAYA kadang BIKIN SENGSARA

Selasa, 11 Januari 2011

pinjam tulisan(mafia)


Peradilan Agama Versus Mafia Hukum

Oleh: Hermansyah, SH.I
Pegawai Ditjen Badilag MA Bagian Informasi dan Dokumentasi
Seorang pemuda—kita sebut saja namanya Marwan—berjalan gontai menuju loket. Tak sekalipun dia menunjukkan senyum. Dari saku kemeja yang sudah pudar warnanya dia keluarkan selembar kertas. Isinya: panggilan ikrar talak.
“Ada yang bisa kami bantu, Pak?” Tanya petugas loket.
Marwan lekas-lekas menyodorkan kertas itu. Setelah diberitahu jadwal pengucapan ikrar talaknya, ternyata dia tak segera menyingkir. “Bu, saya mau tanya, apakah biaya perkara saya sampai 1,5 juta?”
“Tidak sampai segitu, Pak,” petugas loket kaget. “Memangnya Bapak memberikan uang itu kepada siapa?”
Marwan lantas bercerita. Dia sedang mengajukan permohonan talak untuk menceraikan istrinya. Untuk keperluan itu, dia dibantu seorang perangkat desa yang salah satu tugasnya adalah mengkoordinasikan kegiatan administrasi nikah, talak, cerai dan rujuk. Perangkat desa itu awalnya minta Rp 1,2 juta. Untuk biaya pendaftaran dan proses sidang, ujarnya. Marwan tidak spontan menyanggupi karena tabungannya tidak mencukupi. Setelah berhutang kepada seseorang, Marwan akhirnya berhasil mengumpulkan duit sebesar yang diminta itu. Belakangan, sang perangkat desa itu minta tambahan ongkos sebesar Rp 300 ribu. Alasannya, untuk mengurus akta cerai.
“Perlu Bapak ketahui,” petugas loket menjelaskan, “kami tidak memungut biaya perkara sebesar itu. Sesuai yang terpampang di papan pengumuman, biaya perkara Bapak mestinya tidak sampai Rp 500 ribu. Jadi, sebaiknya Bapak segera menemui orang yang membantu Bapak tersebut untuk membahas masalah ini.”
***
Peristiwa itu terjadi di sebuah PA di Jawa Timur, September lalu. Saat itu penulis melihat langsung betapa wajah pemuda itu memendam amarah. Mungkin dia menduga pihak PA telah menarik biaya yang tidak wajar. Ternyata dugaannya meleset. Ulah tak terpuji itu justru dilakukan seorang oknum perangkat desa—yang mestinya melindungi dan membantu masyarakat. Barangkali tepat bila dalam konteks ini oknum tersebut dipredikati “makelar kasus”.
Harus kita akui, sebagaimana instansi penegak hukum lainnya, PA tidak benar-benar steril dari orang-orang seperti itu. Banyak orang yang sengaja mengambil keuntungan dari setiap tahap persidangan. Umumnya mereka berdalih menjual jasa. Sebab, kata mereka, orang-orang berperkara akan lebih lancar urusannya bila memakai jasa mereka.
Ketua MA Harifin A Tumpa sendiri menyadari, makelar kasus merajalela di mana-mana. Baik di wilayah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pengadilan. Sebagaimana dia ungkapkan di KOMPAS (19/11), keberadaan mafia kasus tersebut sangat mengganggu independensi hakim dalam menangani perkara.
Makelar kasus adalah satu bagian kecil dari bagian yang lebih luas, yaitu mafia hukum (judicial corruption). Sebagian kalangan menyebutnya mafia peradilan. Namun istilah ini kurang tepat, lantaran akan timbul kesan bahwa penyelewengan itu hanya terjadi di pengadilan. Seakan-akan yang terlibat hanyalah unsur-unsur pengadilan seperti hakim, panitera, atau jurusita. Padahal, peradilan dan pengadilan adalah dua hal yang berbeda. (Achmad Cholil: 2008)
Secara teoretis, judicial corruption adalah pebuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan. Yang dimaksudkan aktor tertentu di sini adalah aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Demikian definisi yang diberikan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KP2KKN)—sebuah lembaga yang menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Denny Indrayana (2005), dengan bahasa yang lugas menyatakan, judicial corruption adalah upaya mengomoditaskan hukum menjadi barang dagangan murahan yang bisa dihargai dengan segepok uang sogokan.
Di pengadilan, praktik mafia hukum bisa melibatkan ketua pengadilan hingga pagawai rendahan. Mereka mengadakan kesepakatan-kesepakatan tertentu dengan pencari keadilan, advokat, atau pihak lainnya. Lazimnya, pencari keadilan berharap perkaranya bisa diselesaikan secara cepat dan putusan hakim menguntungkan dirinya. Untuk itu, mereka rela membayar lebih dari biaya yang sudah ditentukan. Sebaliknya, aparat pengadilan mau melakukan tindakan yang menyalahi peraturan perundang-undangan demi mendapat “uang ceperan”.
Praktik jual-beli perkara ini sejatinya bisa dicegah. Caranya ialah dengan meminimalkan interaksi langsung antara aparat peradilan dengan pencari keadilan. MA melalui Pedoman Perilaku Hakim, misalnya, melarang hakim berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan. Tentu ada perkecualiannya, yaitu bila dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, serta tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
Namun itu tidak cukup. Sebab, mafia hukum biasanya juga melibatkan pegawai pengadilan, dari proses pendaftaran, pemeriksaan, putusan hingga eksekusi. Karena itu, Ketua MA melalui SK 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan transparansi. Pengadilan tak ubahnya akuarium yang gerak-gerik penghuninya bisa dipantau dengan jelas.
Kini hampir seluruh PA telah mengimplementasikan SK Ketua MA tersebut. Jalur yang dipakai ada dua: jalur nyata dan jalur maya. Di gedung PA, masyarakat pencari keadilan dengan gampang bisa melihat pengumuman mengenai prosedur berperkara, jumlah biaya perkara, dan jadwal sidang. Jika mau menengok website, masyarakat malah bisa mendapatkan informasi lebih, misalnya putusan, panggilan pihak-pihak yang tidak diketahui alamatnya, bahkan kondisi keuangan PA.
Upaya memberantas mafia hukum di PA itu bukan tanpa hasil. Terbukti, praktik kotor tersebut jarang terjadi dan aktornya pun sangat sedikit. Setidaknya, itulah yang bisa disimpulkan dari hasil pengawasan internal yang dilakukan MA maupun hasil pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Sangat sedikit aparat PA yang diadukan dan terkena sanksi, baik ringan maupun berat. Survey-survey tentang kepuasan masyarakat terhadap pelayanan PA juga menunjukkan bahwa kinerja aparat PA memang bagus.
Tentu kita tidak boleh jumawa. Kondisi ini tak cuma perlu dipelihara, tapi juga mesti ditingkatkan. Upaya pemberantasan mafia hukum perlu disokong penuh oleh seluruh unsur PA. Apalagi, jika menilik fakta bahwa PA adalah tempat menyelesaikan masalah bagi orang Islam. Jelas, Islam sangat melarang praktik mafia hukum. Bahkan jauh sebelum UU tentang Pemberantasan Korupsi disahkan, Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa satu-satunya hunian yang layak bagi penyuap dan penerima suap adalah neraka.
Memerangi mafia hukum tentu bukan pekerjaan gampang. Namun dengan kegigihan, kejujuran dan keteladanan, upaya itu akan menuai hasil positif. Prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah pun akan terejawantahkan.
Dan jika ada aparat PA yang tergiur untuk menjadi aktor mafia hukum, bukan saja masyarakat akan memberi cap jelek. Lebih dari itu, mungkin saja kelak orang-orang seperti Marwan akan melabrak aparat PA dan berteriak, “Kembalikan uang saya!  Saya sedang dikejar-kejar debt collector!” Wah, kalau begini, urusannya bisa panjang nih….




AYO PERANGI MAFIA: jangn bosan perangi mafia

AYO PERANGI MAFIA: jangn bosan perangi mafia

jangn bosan perangi mafia

Kiranya dunia Peradilan, dah mulai membaik, namun sebelum perkara masuk di Pengadilan, banyak pos yang harus dilalui sperti; polisi, advokad, jaksa, sudahkah itu membaik. itu tugas kkta semua, jangan hanya menyalahkan Pengadilan/ hakim. sebagaimana kita maklumi perkara Gayus, UTG. Ayin dll. siapakah yang terjerat?..................

Semoga Negari Hukum kita, tidak hanya sekedar nama saja.
Heboh Gayus yang pelesiran ke Macau, Singapura dan Malaysia, akan lebih heboh lagi dengan harga paspornya. Harganya US$ 100.000.
1294770840362540361
tempointeraktif.com
Kalau dihitung dengan kurs Rp 9.100/dolar AS maka harga paspor Gayus sebesar Rp 910 juta. Padahal kalau dengan cara normal untuk pembuatan paspor menghabiskan tak lebih dari Rp 400.000.
“Gayus sendiri telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membuat paspor ini, dengan imbalan uang 100.000 USD,” kata Juru Bicara Mabes Polri Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam dalam jumpa pers di Mabes Polri Jakarta, Selasa 11 Januari 2011 (tempointeraktif.com).
Penyidik Bareskrim Polri berhasil menangkap salah seorang sindikat pemalsu paspor Gayus Tambunan atas nama Sony Laksono di wilayah Jakarta Selatan, pada Minggu (9/1) dini hari.
Pelaku berinisial A, laki-laki, 37 tahun, dibekuk di rumahnya di wilayah Jakarta Selatan tanpa perlawanan. Seusai diperiksa, pelaku ditetapkan menjadi tersangka pemalsuan paspor dan ditahan di Bareskrim Polri (tribunnews.com).
Kepala Bagian Penerangan Umum, Kombes Boy Rafli Amar menambahkan, tersangka A berperan sebagai pengambil foto Sony Laksono yang berkacamata dan mengenakan wig yang ditempel pada sebuah paspor asli.
1294335206123062763
Sony Laksono (kiri) dan Gayus saat menonton tenis di Bali. Tribunnews.com
Menurut Boy, paspor tersebut dibuat Juli 2010. Atas perbuatannya, A dapat dijerat Pasal 266 jo Pasal 55 dan 56 KUHP tentang Pemalsuan dan Keikutsertaan dalam Pemalsuan.
Mengenai pihak yang diduga memberi dana kepada Gayus, pihak kepolisian, kata Boy, masih menyelidiki pihak tersebut. “Kami belum tahu. Gayus dalam konteks ini belum diperiksa,” katanya. Adapun barang bukti berupa paspor atas nama Sony Laksono tersebut dalam pencarian. “Belum, sedang dicari,” ujar Boy.
–12012011–
Tulisan yang lain (Januari 2011):
1Hentikan, Pelecehan Simbol Perempuan!
2. Tubuh Perempuan, Ajang Perang Ideologi
Tulisan Teman:
@Della Anna     Dampak Parliamentary Threshold Bagi Demokrasi
@Ragile    Curhat Juragan Facebook

Tags: hl, 2011, gayus, agus haris purnama al