MAFIA BIKIN KAYA kadang BIKIN SENGSARA

Minggu, 01 April 2012

SENI &SEHAT


tinjau ulang panggilan gaib


MENINJAU  ULANG TENGGANG  PEMANGGILAN
 PERKARA GHAIB PERCERAIAN
Pendahuluan
    Tata cara pemanggilan pihak perkara secara umum telah diatur antara lain dalam pasal 122, 165, 285, 388,390 HIR,  718 RB.g. dan pasal 1868 BW. dan masih ada di peraturan yang lainya.  Sedangkan khusus perkara perceraian untuk pihak yang gaib (alamat tidak jelas), telah di atur dalam UU. No.1 tahun 1974 dan PP. No. 9 tahun 1975.
    Menurut pasal 20 (2) PP.No.9/75 : “Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat”. Sedangkan pasal 27 (1)  “Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut pasal 20 (2) panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh pengadilan. Ayat  ke 2 nya, pengumuman seperti ayat 1 tersebut di lakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Ayat ke 3 nya Tengang waktu antara panggilan terakhir  sebagai yang dimaksud ayat 2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. Dan ayat ke (4) dalam hal sudah dilakukan sebagaimana maksud ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pembahasan
Semestinya Pemanggilan Ghaib (pihak yang tak diketahui alamatnya secara jelas) dalam perkara perkawinan, sudah saatnya di revisi, mengingat  aturan itu diatur  dengan PP. No.9/1975, hingga kini lebih kurang sudah 34 tahun lamanya. Apabila kita menengok masa lalu, pada saat lahirnya peraturan itu, kami masih sekolah kelas 1 SD, alat komunikasi yang ada di Desa umumnya  hanya Radio dan surat, Surat kabar masih sangat jarang dan  yang mempunyai TV satu kecamatan hanya ada satu atau dua orang . Jalan-jalan di desa belum di asfal seperti sekarang, Listrik dan telpon belum masuk desa dan sebagainya. Jadi sangat relevan peraturan itu di berlaku pada zaman yang masih serba ketinggalan seperti itu.
    Akhir-akhir ini teknologi informasi sudah begitu canggihnya, kini hampir tiap orang memiliki HP (Hand Pone), tiap rumah sudah memiliki TV bahkan sudah banyak yang memiliki internet, jalan-jalan yang menuju antar desa sudah relative bagus dan enak dilewati dan seterusnya.
    Mengingat dan menimbang, zaman sudah serba moderen, maka masa 4 bulan sudah tak relevan lagi masa kini, ada beberapa suatu kejadian kasus setelah  tahu dari pengumuman, dari pihak tergugat/termohon, justru hadir ke Pengadilan minta dipercepat waktunya dari masa 4 bulan itu dan karena terlalu lamanya antara jarak daftar dengan persidangan kadang-kadang si pengaju tersebut lupa.  Dalam hal ini  ada pihak tergugat atau termohon minta dipercepat persidangannya seperti contoh  Perkara No. 2262/Pdt.G/2011/PA-TA. dan No. 2260/Pdt.G/2011/PA-TA  Hal ini pihak Tergugat/termohon semula gaib, lalu ia mengetahui, selanjutnya mereka kedua pihak datang Ke pengadilan, meminta diajukan hari persidangannya. 
Jangka persidangan yang lama itu rasanya sudah tidak tepat dan dapat dikatakan  kurang meperhatikan kepentingan Pengaju  dan justru berlebihan dalam memperhatikan kepentingan Tegugat/termohon. Dengan demikian dapat juga pengadilan dinilai berat sebelah sama artinya kurang adil. Menurut pendapat Drs. H.Ruslan Harunar Rasyid, SH,MH. Dari masa 4 bulan, dirubah  menjadi 1 bulan 14 hari saja, idialnya pengumuman I dengan pengumuman ke II jangka waktu 14 hari, lalu jarak waktu dengan persidangan perdana adalah 1 bulan. (Vide Suara Uldilag, 5 September 2004).
Oleh karena itu  menurut hemat kami dari masa 4 bulan di rubah menjadi  2 bulan saja, rasanya pengurangan separuh harga sudah cukup idial dan tidak terlalu drastis.
Kiranya Patut kita ingat, bahwa PP. (Peraturan Pemerintah) itu hirarkisnya dibawah UU (Undang-Undang), untuk menyingkat waktu maka cukuplah MA (Mahkamah Agung) cq BADILAG yang melakukan  Judicial review terhadap pasal terkait  dengan menerbitkan Peraturan MA. Atau entah apa namanya aturan itu untuk menjadi pedoman para Hakim. Oleh karena apabila menanti revisi atau perubahan dari pihak yang paling berkompeten yakni  Eksekutif dan Legislatif, rasanya terlalu lama. Dengan  membaca  gejala-gejala yang ada dan  sikond saat ini rasanya belum muncul  tanda-tanda,  bahwa pihak yang terkait itu, tergelitik   untuk  merevisi atau merubah terhadap UU. No.1/1974 dan PP. No.9/1975.
Bahwasannya MA berwenang menguji  Perpu (Peraturan Perundang-Undangan, jika Perpu tersebut bertentangan dengan UU yang sudah ada dapat dinyatakan tidak sah (dibatalkan) , karena Perpu hirarkisnya  dibawah UU.  Hal ini bisa lihat pada UUD 1945 pasal 24 A(i) dan UU. No. 4 tahun 2004 pasal 11 ayat 2 b.  yang berbunyi  : "Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang". Demikian juga sekedar untuk diingat, menurut   Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 pasal 2, mengenai tata urutan peraturan perundangan Indonesia, sebagai berikut  : 1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR RI; 3. UU; 4. Perpu; 5; PP; 6. Kepres; 7. Perda..  
Suatu gambaran perjalanan persidangan perkara yang pihak tergugat/termohon tidak diketahui alamatnya jika  pasal tersebut sudah direvisi sesuai usulan penulis: Andai Penggugat/Pemohon daftar perkara tanggal  2 Januari 2012, panggilan atau pengumuman pertama untuk Tergugat ataupun Termohon yang ghaib, dapat dilaksanakan oleh Jurusita pada tanggal 10 Januari 2012 dan pengumuman kedua 10 Februari 2012 lalu sidang perdananya  tanggal 10 Maret 2012. Sedangkan  jika berpedoman dengan pasal 27 PP.No.9/75, apabila daftar perkara tanggal  2 Januari 2012,  jangka waktu pemanggilan ke 1 dapat dilakukan pada tanggal 10 Januari 2012. panggilan ke 2 untuk Tergugat/Termohon  tanggal 10 Pebruari 2012 dan  sidang perdananya  10 Mei 2011.
    Sebenarnya semua Hakim sudah maklum, bahwa hakim itu bukan corong undang-undang, kebebasan dan kemandiriannya  telah dijamin dengan undang-undang pula bahkan diharapkan pula untuk menggali  nilai-nilai dalam masyarakat untuk menciptakan hukum (Judge Made law) untuk memberi rasa adil  kepada masyarakat.
Merupakan Salah Satu Solusi Mengurangi  Tumpukan Perkara
Asas peradilan kita adalah sederhana, cepat dan ringan, di Pengadilan Agama khususnya di Tulungagung dan umumnya  di PA yang pernah penulis ketahui, bahwa rata-rata perkara ghaib per tahun kurang lebih 25 % dari perkara non gaib.
Dengan demikian, jika Pengadilan telah menerapkan pemanggilan semula  tengang waktu 4 bulan, berubah menjadi  2 bulan, maka sudah otomatis dapat mengurangi tumpukan perkara yang ada di Pengadilan, sehingga dapat  mempercepat  selesainya perkara.
Tehnis Pemanggilan Perkara  perceraian Yang Gaib
Kelaziman pemanggilan bagi pihak yang tidak diketahui  alamatnya, berpedoman dengan pasal 27 PP.No.9/75 yakni di tempel di Papan Pengumuman  Pengadilan Agama setempat dan diumumkan melalui Radio Daerah setempat sebanyak dua kali. Untuk PA. Tulungagung pihak pengaju diharuskan membawa surat keterangan dari Desa setempat, yang pokok isinya pihak Tergugat/Termohon sudah sekian lama tidak diketahui secara jelas  dan ditambah di umumkan pada Website Pengadilan Agama Tulungagung.
Kenapa diharuskan membawa surat keterangan Desa, hal itu sekaligus berfungsi sebagai memperluas jangkauan pengumuman, sebagaimana amanat pasal 27 (1)  di atas, di samping diumumkan lewat Radio, papan pengumuman PA dan Website PA. Tentunya Kepala Desa setelah ada warga yang minta keterangan bahwa ada warganya yang  hilang (salah satu dari pihak suami atau isteri), paling tidak akan mengimformasikan kepada anak buahnya dan diteruskan kepada masyarakat luas di Desanya.
Muncul pertanyaan, kenapa masih memakai  mas media yang berupa Radio, tidak memilih mas media yang lain? Bukankah itu sudah kuno dan sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat pada umumnya? Seharusnya memang sudah waktunya difikir ulang dan dan dikaji secara matang serta didiskusikan yang melibatkan  banyak pihak  terutama para pucuk pimpinan dan para  hakim atau fakar hukum yang lainnya. Radio dipilih, karena dari segi biaya paling murah dan pada zaman dulu hanya itulah yang paling cocok, jika dibandingkan dengan mas media yang lainnya. Kini peradaban sudah serba berubah, dari segi target sampai atau tidak panggilan lewat  radio itu, semstinya perlu diteliti dan dikaji lagi. Andai telah diteliti dan dikaji lagi, berkesimpulan “masih layak” memakai Radio sebagai alat pemanngilan ghaib, penulis menyarankan, agar jadwal sidang perkara gaib itu ditempel  di Website resmi PA stempat, disamping sebagaimana biasanya, dan  dengan tidak menghapusnya sebelum perkara itu BHT (Berkekuatan Hukum Tetap).
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas menurut hemat penulis  masa 4 bulan bukan waktu yang pendek  untuk masa  kini, meskipun demikian  para Hakim dipersilakan untuk merenung, berfikir (berijtihad) untuk menentukan dan memutuskan suatu perkara dengn cepat dan tepat namun yang harus di ingat dalam-dalam bahwa hakim memutus  perkara itu : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan: “Demi Yang Lain-lainnya”. Semoga tulisan yang sederhana ini, menjadi renungan kita bersama dan ada manfaatnya.

Tulungagung,  15 Januari 2012
PENULIS  

(DRS.SUYAD,MH./HAKIM PA-TA)

DAFTAR BACAAN
Abdul Manan, H. Drs. SH, Sip. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan    
        Peradilan Agama, Yayasan Alhikmah, Jakarta.
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT Pustaka
LP3ES Indonesia, th. 1998.
M.Yahya Harahap,SH., Kedudukan Kewenagan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta, Pustaka Kartini, th.1993.
Lili Rasjidi, Prof.,Drs.,SH., LLM., Dasar Dasar Filsafat Hukum,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, th.1990.
Suara Uldilag, September  2004, Al-Hikmah, Jakarta, th. 2004